Jumat, 19 April 2013

Optimalisasi yajna pada jaman Kali



Dewasa ini telah terjadi pergeseran yang sangat besar dalam paradigma berfikir manusia, dari mahluk pendamba ketenangan menuju pemuja kesenangan. Penyebab semuanya ini adalah kebingungan (Moha) yang selanjutnya menuntun sang roh menuju tiga pintu gerbang neraka yaitu : Kama,Kroda,Lobha (Bhagavad Gita XVI.21). untuk dapat membebaskan diri dari tarikan arus gerbang neraka tersebut, Gita juga telah memberikan tuntunan agar kita melaksanakan tapa, yajna, dan dama. Sebagaimana juga dijelaskan dalam lontar agastya parwa yang menguraikan pentingnya tapa, yajna, dan kirti sebagai jalan menuju gerbangnya surga dimana terdapat kebahagiaan, dan ketenangan. Tentu saja untuk bisa memasuki wilayah tanpa kesedihan yang disebut surge ini, kita memerlukan tiket pahala dari karma baik yang kita lakukan. Tiket surge ini tidak bisa dibeli dengan uang ataupun segala sesuatu yang dapat diuangkan termasuk upacara kurban. Jika kita berkata Aku Ingin Tiket Surga, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah menghapus kata Aku yang bersinonim sebagai rasa keakuan atau ego dalam diri. Selanjutnya jika keakuan telah pergi, langkah selanjutnya adalah menghilangkan kata ‘ingin’ sebagai sinonim dari keinginan (kama) yang seakan tak pernah merasa puas dan selalu mengganggu pikiran dengan berbagai caranya agar bisa terpenuhi. Jika keakuan atau ego serta keinginan ini telah dapat ditundukkan, maka yang akan tersisa dari kalimat ini hanyalah Aku Ingin Tiket Surga itu saja. Dengan demikian bisa dipahami bahwa penaklukkan ego dan pembatasan keinginan adalah modal utama untuk mencapai tempat ketenangan dimaksud sekaligus sebagai syarat dalam melaksanakan yajna.

Makna Yajna :
Yajna berasal dari akar kata ‘yaj’ yang berarti memuja, menyembah, atau berdoa. Secara etimologis kata Yajna mengandung makna sebagai “Korban suci tanpa pamerih”. Dalam lembaga keagamaan, yajna dilakukan untuk meningkatkan kesucian dan keseimbangan. Atas dasar itu, makna rahasia yajna adalah pengorbanan sifat-sifat kebinatangan dalam diri sehingga nantinya dapat menumbuhkan sifat kedewataan sebagai gantinya. Sebuah transformasi dari manusia (Manava) menuju kepada Tuhan (Madhava) dan bukan sebaliknya menurun kedalam sifat iblis kebintangan (Danava).
Alam semesta tercipta melalui proses yajna dan terpeliharanya juga melalui mekanisme yang sama. Bhagavad Gita III.10 menyebutkan bahwa dahulu kala Prajapatih sebagai penguasa semua mahluk, mengirim generasi manusia dan dewa beserta segala korban suci untuk Vishnu yang kemudian memberkatinya dengan berkata : Berbahagialah engkau dengan yajna (korban suci) ini sebab pelaksanaannya akan menganugrahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan. Uraian yang sama juga bisa kita temukan dalam kitab yajurveda XXIII;62 dan penjelasan RgVeda I.164.35 yang menyebutkan yajna sebagai tali pusar alam semesta. Ayam yajno bhuvanasya nabhih. Dengan demikian jika yajna berhenti, maka dapat dipastikan bahwa alam semesta inipun akan mengalami kehancuran.

Dewasa ini masih banyak umat hindu yang memahami yajna dalam aspek ritualnya saja, sehingga yajna hanya bermakna mistis. Pemaknaan yajna secara mistis memang lebih banyak ditekankan dalam catur veda, khususnya dalam Purusha sukta Rgveda. Implementasi yajna dalam kehidupan sehari-hari secara tegas diamanatkan dalam Bhagavad Gita yang mengungkap esensi yajna sebagai pelayanan secara iklas kepada sesame manusia dan mahluk lainnya untuk kesejahteraan alam semesta. Akibatnya semakin jelaslah ruang lingkup yajna yang tidak hanya mencakup aspek ritual saja tetapi mencakup segala aspek kehidupan, dan bahkan merupakan basis etika,moral, dan spiritualitas hindu. Untuk itu dewasa ini sudah saatnya dilakukan optimalisasi dalam pelaksanaan yajna itu sendiri yang meliputi penyederhanaan system ritual, dan pembebasan makna yajna dari kungkungan ritual.

Bali dan Banten.
Diantara penganut hindu di dunia, umat hindu etnis bali-lah yang menempatkan banten sebagai unsure yang utama dan pertama dalam upacaranya. Dan yang cukup menarik, menurut hasil penelitian seorang antropolog bernama Clifford Gertz menyatakan bahwa umat hindu di bali sangat sibuk melaksanakan upacara dengan banten yang terkadang tidak dapat mereka mengerti makna sejati yang terkandung di dalamnya.menurut lontar yajna prakerti, banten merupakan simbul ; (1) pinaka raganta tuwi = lambang dari sang yajamana secara utuh, (2) pinaka warna rupaning ida bhatara = sebagai perlambang Tuhan yang akan dipuja, (3) pinaka anda bhuwana = lambang alam semesta. Dengan demikian, dalam simbul banten sebenarnya telah terkandung nilai keseimbangan yang selanjutnya dirumuskan dalam konsep Tri hita karana. Permasalahan muncul karena banten diterjemahkan sebagai sebuah keharusan, sebagai sesuatu yang harus ada dalam setiap pemujaan. Sementara itu, makna banten justru semakin mengendap tertutup rapat oleh rutinitas ritualitas seiring perjalanan sang waktu. Pada akhirnya bagi sebagaian umat, banten justru dianggap sebagai sesuatu yang rumit, seni, boros, dan hanya berfungsi sesaat. Akhirnya bergeserlah makna banten dari kancah filosofis spiritual ke zona ekonomis dan inilah yang sedang terjadi dewasa ini dimana banten telah berubah menjadi komoditi bisnis yang bahkan tidak hanya diproduksi dan dibuat oleh mereka yang memiliki keyakinan di hindu tetapi bahkan umat lainpun kini telah menjadikan bisnis banten ini sebagai sumber penghasilan keluarga mereka.

Dewasa ini diprediksi umat hindu di bali secara keseluruhan mengeluarkan dana sekitar dari 6,6 triliun rupiah pertahun untuk membiayai keperluan upacara dan sebagian besar dana itu dipergunakan untuk membeli pasokan bahan-bahan banten dari luar bali. ketidak tahuan akan makna dan biaya tinggi menyebabkan banten bukan lagi sebagai kekuatan tetapi malah sebaliknya menjadi sebuah kelemahan. Hal ini terbukti dari banyaknya gadis-gadis hindu etnis bali yang memilih menikah dengan umat lain karena takut terbebani oleh tradisi banten yang dirasa cukup membebani.
Secara tradisi pelaksanaan upacara di bali mengikuti adagium desa-kala-patra. (arti sebenarnya untuk kata patra adalah orang yang menderita), yang sesungguhnya menurut Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya, bukanlah pedoman untuk melaksanakan upacara namun lebih tepat jika kata ini diperuntukkan sebagai pedoman dalam melaksanakan dana punia. Manava dharmasastra memberikan asas Dharmasiddhiyatra yang dapat dipedomani dalam melaksanakan upacara yakni mengacu kepada lima hal seperti : Iksa (tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (menurut tempat), Kala (berdasarkan waktu) dan Tattwa (pemahaman dari sang Yajamana itu sendiri).

Keutamaan sebuah yajna tidak selayaknya diukur dengan besar kecilnya modal materi yang dipergunakan, tetapi mesti dilihat dari dukungan sradha dan susila sang yajamana. Sebuah yajna yang dilakukan tanpa menyesuaikannya dengan petunjuk sastra, tanpa menchantingkan mantram yang benar, tanpa ada persembahan bhoga, tanpa sradha, dan juga tanpa adanya daksina atau punia adalah yajna dalam sifat tamasik (Bhagavad Gita XVII.13). oleh karena itu umat seyogyanya mulai sadar untuk melakukan penataan ke depan yang lebih jelas dalam melaksanakan yajna. Setiap upacara selayaknya mensinergikan Yantra (sarana upacara), Tantra (brata), dan juga Mantra (doa-doanya). Keutamaan upacara menurut Veda harus memenuhi criteria Sradha (Keyakinan) Sastra (petunjuk kitab suci) Lascarya (ketulusan) Nasmita (bebas dari unsure pamer), serta Annaseva (ada pembagian prasadam. Hal ini dengan jelas tergambarkan dalam Asvameda Parwa bagaimana sebuah keluarga miskin yang mempersembahkan empat mangkok bubur dari ketidak punyaannya justru mendapatkan hasil yang hampir setara dengan upacara besar Asvameda yang dilakukan oleh Pandawa.

Yuga dan Yoga.
Umat hindu di Indonesia khususnya di Bali mengenal sumber hukum hindu melalui kitab Ramayana, yang didalamnya memuat ajaran Manu (Manusmrti). Sesungguhnya Manusmrti itu adalah Dharmasastra untuk jaman Krta/ Satya yuga sedangkan untuk jaman Kali sekarang seharusnya kita berpedoman pada Parasarasmrti. System upacara yang memakai kurban seperti yang dikenal di bali saat ini tampak masih mempergunakan hokum yang dipakai pada jaman Treta dimana pelaksanaan kurban suci memang sangat dimungkinkan untuk itu. Tetapi di jaman Kali dimana sumber daya alam semakin tidak bisa memadai untuk upacara ritual demikian, maka Tuhan telah memberikan formula praktis untuk mendekati kesucian beliau dengan cara melakukan punia kepada mereka yang memerlukan dengan tetap mengingat Tuhan dan mempersembahkan segala kegiatan mulia itu kepada Beliau. Penganut Bhakti yoga, atau para Vaisnawa berpandangan bahwa yajna yang paling utama di jaman ini Namasmaranam atau lebih dikenal sebagai Sankirtan Mahayajna. Hal ini diperkuat oleh sabda Tuhan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita X.25, Yajnanam Japoyajno ‘smi = Diantara yajna atau kurban suci, Aku adalah Japa (Proses mengulang ulang nama suci Tuhan). Para penganut jnana yoga misalnya para smarta, berpandangan bahwa Jnanalah yang paling utama sebagaimana diuraikan dalam Gita bahwasannya yajna berupa ilmu pengetahuan lebih bermutu dari persembahan berupa materi. Selanjutnya penganut Karma yoga misalnya penganut Shivaisme, berpandangan bahwa pelayananlah yang paling utama. Yang mana hal ini juga didasarkan pada kitab yang sama dimana Sri Krishna bersabda bahwa mereka yang melaksanakan kerja sebagai persembahan kepada beliau akan dapat mengantarkan si pelaku ke dalam pembebasan. Dalam pemahaman umum, jnana, bhakti, dan karma adalah sebuah proses yang komperhensif. Karena sebuah ajaran hanya dapat dinilai dari prilaku para pengikutnya. Svami Vivekananda menegaskan “sebuah pohon dapat dinilai dari kwalitas buahnya!”

Praktek pelayanan sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan sebelumnya juga diajarkan oleh Svami Ramakrishna. Beliau setiap saat menerima dan melayani Narayana dalam wujud orang kelaparan, buta, dan lainnya serta mengajak mereka memuja Tuhan. Hal yang sama juga diwarisi dan diperkuat oleh Svami Vivekananda, dia berpandangan bahwa hanyut dalam kemewahan atau pergi ke hutan sesungguhnya adalah tindakan membunuh diri secara perlahan. Untuk mencapai kedamaian, bukan dengan kedua tindakan itu, tetapi justru dengan melayani orang lain yang menderita. Ia berkata bahwa jika kita menginginkan Tuhan maka syaratnya adalah layanilah beliau dalam wujud sebagai orang-orang menderita.

Oleh : Wayan Suja (Vidya prashanti 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar