Dewasa ini telah terjadi pergeseran yang sangat besar dalam paradigma
berfikir manusia, dari mahluk pendamba ketenangan menuju pemuja kesenangan. Penyebab
semuanya ini adalah kebingungan (Moha) yang selanjutnya menuntun sang roh
menuju tiga pintu gerbang neraka yaitu : Kama,Kroda,Lobha (Bhagavad Gita
XVI.21). untuk dapat membebaskan diri dari tarikan arus gerbang neraka
tersebut, Gita juga telah memberikan tuntunan agar kita melaksanakan tapa,
yajna, dan dama. Sebagaimana juga dijelaskan dalam lontar agastya parwa yang
menguraikan pentingnya tapa, yajna, dan kirti sebagai jalan menuju gerbangnya surga
dimana terdapat kebahagiaan, dan ketenangan. Tentu saja untuk bisa memasuki
wilayah tanpa kesedihan yang disebut surge ini, kita memerlukan tiket pahala
dari karma baik yang kita lakukan. Tiket surge ini tidak bisa dibeli dengan
uang ataupun segala sesuatu yang dapat diuangkan termasuk upacara kurban. Jika kita
berkata Aku Ingin Tiket Surga, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah
menghapus kata Aku yang bersinonim sebagai rasa keakuan atau ego dalam diri. Selanjutnya
jika keakuan telah pergi, langkah selanjutnya adalah menghilangkan kata ‘ingin’
sebagai sinonim dari keinginan (kama) yang seakan tak pernah merasa puas dan
selalu mengganggu pikiran dengan berbagai caranya agar bisa terpenuhi. Jika keakuan
atau ego serta keinginan ini telah dapat ditundukkan, maka yang akan tersisa dari
kalimat ini hanyalah Aku Ingin Tiket Surga itu saja. Dengan demikian
bisa dipahami bahwa penaklukkan ego dan pembatasan keinginan adalah modal utama
untuk mencapai tempat ketenangan dimaksud sekaligus sebagai syarat dalam
melaksanakan yajna.
Makna Yajna :
Yajna berasal dari akar kata ‘yaj’ yang berarti memuja,
menyembah, atau berdoa. Secara etimologis kata Yajna mengandung makna sebagai “Korban
suci tanpa pamerih”. Dalam lembaga keagamaan, yajna dilakukan untuk
meningkatkan kesucian dan keseimbangan. Atas dasar itu, makna rahasia yajna
adalah pengorbanan sifat-sifat kebinatangan dalam diri sehingga nantinya dapat
menumbuhkan sifat kedewataan sebagai gantinya. Sebuah transformasi dari manusia
(Manava) menuju kepada Tuhan (Madhava) dan bukan sebaliknya menurun kedalam
sifat iblis kebintangan (Danava).
Alam semesta tercipta melalui proses yajna dan
terpeliharanya juga melalui mekanisme yang sama. Bhagavad Gita III.10 menyebutkan
bahwa dahulu kala Prajapatih sebagai penguasa semua mahluk, mengirim generasi
manusia dan dewa beserta segala korban suci untuk Vishnu yang kemudian
memberkatinya dengan berkata : Berbahagialah engkau dengan yajna (korban suci)
ini sebab pelaksanaannya akan menganugrahkan segala sesuatu yang dapat
diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan. Uraian yang sama
juga bisa kita temukan dalam kitab yajurveda XXIII;62 dan penjelasan RgVeda
I.164.35 yang menyebutkan yajna sebagai tali pusar alam semesta. Ayam yajno
bhuvanasya nabhih. Dengan demikian jika yajna berhenti, maka dapat dipastikan
bahwa alam semesta inipun akan mengalami kehancuran.
Dewasa ini masih banyak umat hindu yang memahami yajna dalam
aspek ritualnya saja, sehingga yajna hanya bermakna mistis. Pemaknaan yajna
secara mistis memang lebih banyak ditekankan dalam catur veda, khususnya dalam
Purusha sukta Rgveda. Implementasi yajna dalam kehidupan sehari-hari secara
tegas diamanatkan dalam Bhagavad Gita yang mengungkap esensi yajna sebagai
pelayanan secara iklas kepada sesame manusia dan mahluk lainnya untuk
kesejahteraan alam semesta. Akibatnya semakin jelaslah ruang lingkup yajna yang
tidak hanya mencakup aspek ritual saja tetapi mencakup segala aspek kehidupan,
dan bahkan merupakan basis etika,moral, dan spiritualitas hindu. Untuk itu
dewasa ini sudah saatnya dilakukan optimalisasi dalam pelaksanaan yajna itu
sendiri yang meliputi penyederhanaan system ritual, dan pembebasan makna yajna
dari kungkungan ritual.
Bali dan Banten.
Diantara penganut hindu di dunia, umat hindu etnis bali-lah
yang menempatkan banten sebagai unsure yang utama dan pertama dalam upacaranya.
Dan yang cukup menarik, menurut hasil penelitian seorang antropolog bernama
Clifford Gertz menyatakan bahwa umat hindu di bali sangat sibuk melaksanakan
upacara dengan banten yang terkadang tidak dapat mereka mengerti makna sejati yang
terkandung di dalamnya.menurut lontar yajna prakerti, banten merupakan simbul ;
(1) pinaka raganta tuwi = lambang dari
sang yajamana secara utuh, (2) pinaka
warna rupaning ida bhatara = sebagai perlambang Tuhan yang akan dipuja, (3)
pinaka anda bhuwana = lambang alam
semesta. Dengan demikian, dalam simbul banten sebenarnya telah terkandung nilai
keseimbangan yang selanjutnya dirumuskan dalam konsep Tri hita karana. Permasalahan
muncul karena banten diterjemahkan sebagai sebuah keharusan, sebagai sesuatu
yang harus ada dalam setiap pemujaan. Sementara itu, makna banten justru
semakin mengendap tertutup rapat oleh rutinitas ritualitas seiring perjalanan
sang waktu. Pada akhirnya bagi sebagaian umat, banten justru dianggap sebagai
sesuatu yang rumit, seni, boros, dan hanya berfungsi sesaat. Akhirnya bergeserlah
makna banten dari kancah filosofis spiritual ke zona ekonomis dan inilah yang
sedang terjadi dewasa ini dimana banten telah berubah menjadi komoditi bisnis
yang bahkan tidak hanya diproduksi dan dibuat oleh mereka yang memiliki
keyakinan di hindu tetapi bahkan umat lainpun kini telah menjadikan bisnis
banten ini sebagai sumber penghasilan keluarga mereka.
Dewasa ini diprediksi umat hindu di bali secara keseluruhan mengeluarkan
dana sekitar dari 6,6 triliun rupiah pertahun untuk membiayai keperluan upacara
dan sebagian besar dana itu dipergunakan untuk membeli pasokan bahan-bahan
banten dari luar bali. ketidak tahuan akan makna dan biaya tinggi menyebabkan
banten bukan lagi sebagai kekuatan tetapi malah sebaliknya menjadi sebuah
kelemahan. Hal ini terbukti dari banyaknya gadis-gadis hindu etnis bali yang
memilih menikah dengan umat lain karena takut terbebani oleh tradisi banten
yang dirasa cukup membebani.
Secara tradisi pelaksanaan upacara di bali mengikuti adagium
desa-kala-patra. (arti sebenarnya untuk kata patra adalah orang yang
menderita), yang sesungguhnya menurut Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya, bukanlah
pedoman untuk melaksanakan upacara namun lebih tepat jika kata ini
diperuntukkan sebagai pedoman dalam melaksanakan dana punia. Manava dharmasastra
memberikan asas Dharmasiddhiyatra yang dapat dipedomani dalam melaksanakan
upacara yakni mengacu kepada lima hal seperti : Iksa (tujuan), Sakti
(kemampuan), Desa (menurut tempat), Kala (berdasarkan waktu) dan Tattwa (pemahaman dari sang Yajamana
itu sendiri).
Keutamaan sebuah yajna tidak selayaknya diukur dengan besar
kecilnya modal materi yang dipergunakan, tetapi mesti dilihat dari dukungan
sradha dan susila sang yajamana. Sebuah yajna yang dilakukan tanpa
menyesuaikannya dengan petunjuk sastra, tanpa menchantingkan mantram yang
benar, tanpa ada persembahan bhoga, tanpa sradha, dan juga tanpa adanya daksina
atau punia adalah yajna dalam sifat tamasik (Bhagavad Gita XVII.13). oleh
karena itu umat seyogyanya mulai sadar untuk melakukan penataan ke depan yang
lebih jelas dalam melaksanakan yajna. Setiap upacara selayaknya mensinergikan Yantra (sarana upacara), Tantra (brata), dan juga Mantra (doa-doanya). Keutamaan upacara
menurut Veda harus memenuhi criteria Sradha
(Keyakinan) Sastra (petunjuk kitab
suci) Lascarya (ketulusan) Nasmita (bebas dari unsure pamer), serta
Annaseva (ada pembagian prasadam. Hal
ini dengan jelas tergambarkan dalam Asvameda Parwa bagaimana sebuah keluarga
miskin yang mempersembahkan empat mangkok bubur dari ketidak punyaannya justru
mendapatkan hasil yang hampir setara dengan upacara besar Asvameda yang
dilakukan oleh Pandawa.
Yuga dan Yoga.
Umat hindu di Indonesia khususnya di Bali mengenal sumber hukum
hindu melalui kitab Ramayana, yang didalamnya memuat ajaran Manu (Manusmrti). Sesungguhnya
Manusmrti itu adalah Dharmasastra untuk jaman Krta/ Satya yuga sedangkan untuk
jaman Kali sekarang seharusnya kita berpedoman pada Parasarasmrti. System upacara
yang memakai kurban seperti yang dikenal di bali saat ini tampak masih
mempergunakan hokum yang dipakai pada jaman Treta dimana pelaksanaan kurban
suci memang sangat dimungkinkan untuk itu. Tetapi di jaman Kali dimana sumber
daya alam semakin tidak bisa memadai untuk upacara ritual demikian, maka Tuhan
telah memberikan formula praktis untuk mendekati kesucian beliau dengan cara
melakukan punia kepada mereka yang memerlukan dengan tetap mengingat Tuhan dan
mempersembahkan segala kegiatan mulia itu kepada Beliau. Penganut Bhakti yoga,
atau para Vaisnawa berpandangan bahwa yajna yang paling utama di jaman ini
Namasmaranam atau lebih dikenal sebagai Sankirtan Mahayajna. Hal ini diperkuat
oleh sabda Tuhan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita X.25, Yajnanam Japoyajno ‘smi
= Diantara yajna atau kurban suci, Aku adalah Japa (Proses mengulang ulang nama
suci Tuhan). Para penganut jnana yoga misalnya para smarta, berpandangan bahwa
Jnanalah yang paling utama sebagaimana diuraikan dalam Gita bahwasannya yajna
berupa ilmu pengetahuan lebih bermutu dari persembahan berupa materi. Selanjutnya
penganut Karma yoga misalnya penganut Shivaisme, berpandangan bahwa
pelayananlah yang paling utama. Yang mana hal ini juga didasarkan pada kitab
yang sama dimana Sri Krishna bersabda bahwa mereka yang melaksanakan kerja
sebagai persembahan kepada beliau akan dapat mengantarkan si pelaku ke dalam
pembebasan. Dalam pemahaman umum, jnana, bhakti, dan karma adalah sebuah proses
yang komperhensif. Karena sebuah ajaran hanya dapat dinilai dari prilaku para
pengikutnya. Svami Vivekananda menegaskan “sebuah pohon dapat dinilai dari
kwalitas buahnya!”
Praktek pelayanan sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan sebelumnya
juga diajarkan oleh Svami Ramakrishna. Beliau setiap saat menerima dan melayani
Narayana dalam wujud orang kelaparan, buta, dan lainnya serta mengajak mereka
memuja Tuhan. Hal yang sama juga diwarisi dan diperkuat oleh Svami Vivekananda,
dia berpandangan bahwa hanyut dalam kemewahan atau pergi ke hutan sesungguhnya
adalah tindakan membunuh diri secara perlahan. Untuk mencapai kedamaian, bukan
dengan kedua tindakan itu, tetapi justru dengan melayani orang lain yang
menderita. Ia berkata bahwa jika kita menginginkan Tuhan maka syaratnya adalah
layanilah beliau dalam wujud sebagai orang-orang menderita.
Oleh : Wayan Suja (Vidya prashanti 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar