Kamis, 02 Oktober 2014

Chinna Katta : Cara mudah menunjukkan keberadaan Tuhan

Suatu hari seorang pertapa yang mengenakan jubah kuning kebetulan masuk di sebuah desa yang penuh orang atheis. Ia menjumpai sekelompok anak muda durhaka yang menantangnya agar memperlihatkan bahwa Tuhan yang dipujanya benar-benar ada. Ia berkata bahwa ia sanggup, tetapi sebelum melakukannya ia minta secangkir susu.
Ketika susu itu dibawa kehadapannya, tidak diminumnya, tapi ia duduk memandangnya, lama dan diam, dengan rasa ingin tahu yang meningkat anak-anak muda itu kehilangan kesabarannya.

Mereka menjadi semakin ribut. Pertapa itu berkata kepada mereka, "Tunggu sebentar. Aku pernah diberi tahu, katanya ada mentega di dalam susu, tetapi dengan terpaksa aku mengatakan bahwa yang di dalam cangkir ini tidak ada menteganya, karena aku sama sekali tidak melihat bagaimanapun aku bersungguh-sungguh memandangnya!".
Anak muda itu mentertawakan kebodohannya dan berkata, "Goblok! Jangan membuat kesimpulan yang sedemikian tidak masuk di akal. Dalam setiap tetes susu terkandung mentega. Itulah yang menyebabkan  susu itu amat berguna bagi tubuh. Jika engkau mau melihatnya sebagai wujud kongkret yang terpisah, engkau harus merebusnya, mendinginkannya, menambah susu asam dan menunggu sampai beberapa jam sampai membeku kemudian mengocoknya dan menggulung butiran-butiran mentega yang mengapung".
"Ah", kata pertapa, "Dengan demikian tugasku untuk memperlihatkan Tuhan kepadamu menjadi lebih mudah!. Tuhan ada dimana-mana, ada di dalam setiap mahluk, di dalam setiap atom jagad raya. Karena DIA ada maka segala ciptaan ini ada dan kita dapat melihat, mengetahui serta menikmati semua itu. Untuk melihat-NYA sebagai wujud yang kongkret, engkau harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan dengan sungguh-sungguh, tekun dan tulus. Maka pada akhir semuanya, engkau dapat mengalami rahmat dan kemuliaan-NYA.

Kamis, 25 September 2014

Chinna Katta : Jangan terlalu cepat menyalahkan orang

Kisah ini terjadi ketika Sri Rama sedang sibuk dalam pertempuran yang dahsyat di Langka melawan Rawana.
Pada suatu hari ketika pertempuran sudah hampir selesai, seorang anak yang digendong dipinggul seorang raksasi, terluka karena kena panah nyasar. Ibunya menjatuhkan anak itu dan melarikan diri.
Melihat itu, Lakshmana berkata kepada Rama, "Lihatlah Kak, betapa tidak berperasaannya para raksasi ini!. Mereka bahkan tidak mencintai anaknya sendiri"

Rama menjawab dengan tenang, "Dik, jangan terlalu cepat menyalahkan orang lain dan dengan kasar pula. Raksasi itu mungkin mempunyai suatu alasan sehingga ia melarikan diri seperti itu. Pergilah kepadanya dan tanyakan sendiri mengenai hal itu".
Lakshmana memberi salam kepada Raksasi itu dan bertanya tentang sikapnya yang tidak pantas. Ia menjawab, "Kami memang raksasi, tetapi tidak semuanya jahat. Bagaimana dg Wibhisana, apakah ia tidak mencintai Rama?. Apakah ia tidak baik?. Apakah anda kira diantara kalian, manusia tidak ada raksasa juga?
Jangan terlalu cepat mengecam dan menyalahkan orang lain. Akan saya katakan kepada anda mengapa saya tinggalkan anak saya yang terluka parah. Jika ini persoalan  moksa, masing-masing  adalah satu unit, apakah itu ibu dan anak atau suami dan istri, setiap orang akan mengikuti jalan masing-masing dan cepat atau lambat akan mencapai tujuannya sesuai dengan perbuatannya.
Saya harus mencari keselamatan saya. Ketika saya tahu bahwa anak saya pasti akan mati, mengapa saya harus mengurusinya dan berlama-lama di medan perang?. Saya mungkin akan terkena panah. Saya belum ingin mati. Saya ingin tetap hidup agar bisa dibawa sebagai tawanan ke Ayodya oleh Sri Rama. Dengan demikian saya akan mendapat berkah dharsana Rama yg akan menyelamatkan saya dari lingkaran kelahiran dan kematian".
Lakshmana memberi hormat kepada raksasi itu dan mohon diri. Ia menceritakan seluruh peristiwa itu kepada Rama.
Sri Rama berkata, "Dik...! Ingatlah selalu ada kebaikan walaupun pada hal-hal yang diluarnya kelihatan jahat. Baik buruknya suatu perbuatan tergantung pada motif dibaliknya. Penilaiaan yang terlalu cepat selalu berbahaya"

Diambil dari Chinna Katta Bhagavan Sri Sathya Sai Baba

Kamis, 21 Agustus 2014

Setiap tindakan Tuhan ada maknanya

Kesombongan Arjuna dihancurkan dalam peperangan oleh Krishna dengan cara yang menarik. Pada suatu sore, ketika pertempuran hampir selesai, Arjuna merasa bangga bahwa Krishna adalah "Sais dan Pelayannya". Ia merasa bahwa sebagai majikan, ia harus turun dari kereta setelah Krishna dan bukannya sebelumnya. Maka hari itu ia mendesak agar Krishna turun lebih dulu. Tetapi Krishna keras kepala, katanya Arjuna harus turun lebih dulu.
Setelah lama meminta, protes dan memohon, Arjuna turun dengan amat tidak rela sambil menelan kesombongannya. Kemudian Krishna turun dan tiba-tiba kereta itu terbakar!.

Krishna menerangkan alasannya, bahwa ada panah berapi dan senjata yang dilemparkan mengenai kereta, kekuatannya tidak berdaya selama Krishna masih berada didalamnya. Tetapi setelah Krishna pergi, kereta itu terbakar.
Dengan demikian Krishna menunjukkan bahwa setiap  tindakan dan kata-kata Tuhan mempunyai arti dan tujuan yang tidak dapat diduga oleh manusia.
Egoisme adalah musuh yang keras kepala, dan dibutuhkan kewaspadaan yang terus menerus untuk mengalahkannya.

Selasa, 15 Juli 2014

Chinna katta : Jangan pernah menunda untuk hal baik

Ada sebuah rumah tangga yang dalam kehidupannya dapat dikategorikan kehidupan kelas menengah, hidup berkecukupan.
Tampak seorang istri yang sangat taat beribadah dan setia pada suaminya seringkali mengingatkan suaminya dan memohon pada suaminya agar mau berdoa sebentar saja dan memuja Tuhan dengan hormat.
Tetapi suaminya tidak pernah mau menurut dan ia berkata, "aku tidak pernah mempunyai waktu untuk itu, sebab dengan berdoa berarti aku akan membuang-buang waktu dengan sia-sia dan berdoa hanyalah baik dilakukan pada saat usia sudah lanjut atau ketika proses lahir dan batin mengalami kemunduran yang wajar.
Berdoa boleh dilakukan bila ada waktu cukup banyak", begitulah perkataan si suami.
Si istri yang saleh ini tidak puas mendengar jawaban tersebut, ia hanya dapat menunggu adanya kesempatan yang lebih baik agar nasihat-nasihatnya mau didengar dan diterima.
Pada suatu ketika si suami menderita  penyakit yang sangat parah dan terpaksa berbaring beberapa minggu di rumah sakit. Para dokter yang merawatnya memberikan obat-obatan yang harus diminum 3 kali sehari untuk mempercepat kesembuhannya, si istri menerima tugas yang dilimpahkan oleh dokter tersebut dan menyimpannya obat itu.
Obat itu hanya disimpan saja, satupun tidak diberikan pada suaminya.
Si suami marah melihat tingkah laku dan sifat istrinya itu yang tidak pernah mau mengalah. Ia menghendaki obat tersebut, tetapi istrinya tetap pada keputusannya. Ketika si sumai bertanya, "Apakah engkau bersekongkol untuk membunuhku?".
Si istri menjawab, "Tunggu, tunggu, mengapa engkau begitu tergesa-gesa ingin segera minum obat?. Biarlah penyakit itu menjadi semakin parah, mengapa terburu-buru?. Perlahan-lahan saja, ada cukup banyak waktu, seperti katamu ketika aku menginginkanmu untuk berdoa dan melakukan "Namasmaranam".
Si suami itu menyadari kebodohannya yang selama ini ia lakukan dan ia pun mulai memperbaiki sikap hidupnya tanpa disadari ia sembuh dari dua macam penyakit yang ia derita.

Jumat, 11 Juli 2014

Upanayana di SSG Singaraja



Untuk menandai hari dimulainya sekolah bagi anak-anak Bal Vikas, SSG Singaraja kembali menggelar upacara pemberian benang suci atau upanayana kepada beberapa calon siswa yang akan memasuki jenjang Brahmacari. upacara ini dirangkaikan pula dengan upacara Abhiseka patung Sri Maha Ganesh yang telah menjadi agenda rutin SSG Singaraja setiap Purwaning Purnama setiap bulannya. 

Upanayana adalah samskara atau ritual upacara dimana anak muda diupacarai dengan "benang suci" dan diinisiasi kedalam Gayatri Mantra. Gayatri adalah mantra paling suci dari semua mantra dan merupakan warisan tak ternilai yang telah diwariskan oleh kaum bijak waskita jaman dulu. Hanya setelah upanayana ini dilakukan, seorang anak baru memenuhi syarat untuk mempelajari Veda. Samskara ini menandakan kelahiran kembali seseorang dalam spiritual. Sehingga ia dinamakan sebagai seorang dvija atau Yang telah lahir dua kali.         

Secara etimologi,
kata upanayana berarti 'mengambil dekat' atau 'yang mengarah ke' atau 'memulai'. Pada jaman dahulu ketika mode kitab suci diberlakukan, beberapa hal  yang ketat harus diikuti, seorang ayah yang ingin melakukan ritual upanayana ini, memulainya dengan memberikan putranya nyanyian mantra Gayatri. Proses ini disebut sebagai brahmopadesa. Segera setelah Upanayana, ayah akan membimbing anaknya (Calon Brahmachari muda) untuk mendapatkan seorang guru yang dipilih untuk kemudian ditinggalkannya di bawah asuhan guru. Siswa ini sejak saat itu tinggal di Gurukula, menghadiri setiap pelajaran maupun kegiatan yang diberikan oleh acharya yang mengajarinya Veda dan Upanishad maupun kitab suci lainnya. Dengan demikian upacara upanayana terbuka untuk Brahmachari muda, guna memperoleh gambaran tentang suksesi gerbang menuju tujuan akhir dari eksistensi manusia - realisasi Tuhan. Dalam skema dari empat asramas ditentukan dalam kitab suci bagi seorang individu, upacara upanayana menandakan masuknya seseorang ke dalam tahap Asrama pertama - yaitu brahmacharya.

Minggu, 22 Juni 2014

Ber-Yajna dengan Donor darah



Kekuatan dari suatu Mantram ataupun sekedar doa dan pengharapan baik memang tak selamanya bisa dipahami dan bisa dijabarkan dengan logika, namun beberapa tahun terakhir ini, sebuah penemuan mengejutkan dari seorang ilmuan jepang yang bernama Dr.Masaru Emotto telah sedikit membuka tabir keagungan itu. Bahkan kepada mereka yang tidak percaya sekalipun. Misalnya dalam kasus kerauhan / trance. Bagi orang yang tidak mempercayai kekuatan mantram yang ditempatkan dalam air, mungkin mereka akan mencibir cara-cara itu sebagai hal yang tidak masuk akal. Tapi pada akhirnya setelah logika manusia kehabisan akal untuk menelaah, mereka yang tidak percaya juga akhirnya harus rela menerima kenyataan bahwa sepercik air yang telah diresapi dengan mantram-mantram suci telah berhasil membuat orang menjadi sadar dan siuman kembali. Dan bahkan tak jarang segelas air putih yang telah dimohonkan keberkatan dari Tuhan melalui doa dan mantram suci bisa menjadi obat bagi suatu penyakit tertentu.

penelitian tentang perilaku air. Yang telah dilakukan oleh  Dr. Masaru Emoto dari Universitas Yokohama memang telah diakui oleh dunia.  Sehingga pada bulan maret 2005, ia kemudian diundang ke Markas Besar PBB di New York untuk mempresentasikan temuannya itu. Disana ia menjelaskan penelitiannya tentang air murni dari mata air di Pulau Honshu yang  diberikan doa-doa dalam agama Shinto, lalu didinginkan sampai -5oC di laboratorium, lantas difoto dengan mikroskop elektron dengan kamera kecepatan tinggi. Ternyata molekul air membentuk kristal segi enam yang indah. Percobaan diulangi dengan membacakan kata, “Arigato (terima kasih dalam bahasa Jepang)” di depan botol air tadi. Kristal kembali membentuk sangat indah. Selanjutnya air yang sama terus menerus diperdengarkan kata “setan”, maka setelah difoto, ternyata Kristal air membentuk pola yang sangat buruk. setelah itu beberapa gelas air diputarkan musik Symphony Mozart yang lembut, dan hasil poto memperlihatkan bahwa air dimaksud membentuk kristal yang berbentuk bunga. Namun ketika musik heavy metal diperdengarkan, akhirnya Dr Emoto mendapati bahwa Kristal air telah hancur. Dari penelitian ini akhirnya didapati kesimpulan bahwa air memiliki sifat yang bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau compact disk. Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air. Air bisa mentransfer pesan tadi melalui molekul air yang lain. Sehingga penemuan ini secara tidak langsung telah menjelaskan, kenapa air putih yang didoakan bisa menyembuhkan si sakit. Jadi anggapan musyrik yang biasanya diberikan oleh para agama Abrahamik tentang metoda penyembuhan menggunakan media air ini sudah bisa terbantahkan dengan sangat baik sebab dalam kenyataannya molekul air itu memang mampu menangkap pesan doa kesembuhan, menyimpannya, lalu vibrasinya merambat kepada molekul air lain yang ada di tubuh si sakit. Tubuh manusia memang 75% terdiri atas air. Otak 74,5% air. Darah 82% air dan Tulang yang keras pun mengandung 22% air. Oleh karena itu bisa dibayangkan betapa besar manfaat yang akan diterima oleh tubuh jika setiap hari kita mau dan mampu memberikan air yang telah membentuk pola dan Kristal baik , untuk kesehatan kita.



Beranjak dari kesadaran itu pulalah maka Sai Study Group Singaraja yang memang telah memiliki agenda rutin untuk membantu kegiatan Palang Merah Indonesia (PMI) guna menjamin ketersediaan darah bagi mereka yang membutuhkan, kembali mengadakan kegiatan donor darah sebagai salah satu bentuk nyata dari Yajna, Seva, atau pelayanan kepada umat manusia.
Walaupun kegiatan seperti itu bukan hanya dilakukan oleh Sai Study Group, namun ada nilai ples dan inspiratif yang mungkin belum banyak orang melakukannya yakni memulai kegiatan itu dengan menchantingkan doa bersama dan sesudahnyapun terus diiringi oleh music ketuhanan maupun pelantunan lagu-lagu kerohanian sehingga jika mengacu kepada penemuan Dr Emoto maka darah yang akan disumbangkan itu benar-benar bisa menjadi suatu persembahan yang satvika. Sebab bisa dibayangkan bahwa jika air di luar tubuh saja mampu menangkap pesan serta membentuk pola Kristal yang baik saat diberikan kata-kata indah dan suci maka tentulah air ataupun darah di dalam tubuh akan membentuk hal yang sama jika pikiran digiatkan untuk menikmati alunan kidung suci pada saat dimaksud. Sebenarnya inilah salah satu wujud nyata pelaksanaan yajna dalam hal ini manusa yajna yang bisa dilakukan secara sederhana tanpa mengeluarkan biaya apapun.

Selama ini banyak orang beranggapan bahwa Yajna atau korban suci hanyalah berupa serangkaian banten yang dihaturkan kepada Tuhan pada saat perayaan hari besar keagamaan ataupun ketika ada moment yang berhubungan dengan tradisi yang berkaitan dengan keyakinan agama misalnya upacara tiga bulanan ataupun ritual Ngaben untuk sanak keluarga yang telah meninggal. Singkatnya pengertian yajna sudah menjadi lebih dipersempit lagi menjadi sebuah persembahan yang dilandasi dengan keikhlasan yang berhubungan dengan kegiatan ritual dari Panca Yajna.
Pernyataan itu tentu tidak salah walaupun juga tidak bisa dikatakan benar seratus persen. Sebab meyajna atau melakukan sesuatu sebagai suatu persembahan atau pengorbanan suci yang dilandasi ketulusan bukan hanya menyangkut ritualistik dan upakara semata. Karena sesungguhnya ada begitu banyak hal yang bisa diperbuat sebagai kebaikan untuk membantu meringankan kesusahan orang sekaligus memberikan efek kebahagiaan bagi diri sendiri maupun mereka yang kita bantu. Ambillah contoh nyata sehari-hari, ketika kita melihat ada batu di tengah jalan lalu kita tergerak meluangkan waktu untuk berhenti dan membuang batu itu ke tepi maka ini juga bisa dikatagorikan sebagai yajna atau pengorbanan waktu untuk menyelamatkan orang lain yang mungkin bisa terpeleset jika melindas batu itu. Contoh lainnya adalah saat kita dipertemukan dengan kaum gepeng (gelandangan pengemis) yang tengah meringkuk di emper toko dengan pakaian lusuh dan tanpa selimut. Jikalau kita mau mengambil kesempatan yang diberikan oleh Tuhan itu untuk berbuat kebaikan, maka itu tentu akan dinilai Tuhan sebagai bentuk Yajna yang langsung diterima dan dicatat oleh-Nya.

Mengingat tujuan utama dari meyajna adalah untuk memperoleh kebaikan bagi orang lain dan juga diri sendiri, maka pengertian yajna dalam makna kekinian semestinya terus lebih bisa dikembangkan sebagai usaha dan tindakan nyata bagi manusia untuk menyadari jati dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang harus tumbuh dalam prinsip Tat Tvam Asi. Sehingga ketika menyadari hal ini maka akan timbul suatu gagasan untuk terus membuat kebaikan bagi orang lain sebab dengan begitu orang lain juga akan bertindak sama guna membuat kebaikan bagi diri kita. Inilah karunia tidak langsung dari Sang pencipta sebagai hasil dari pelaksanaan Yajna atau persembahan kebaikan kepada Tuhan dalam wujud mahluk ciptaan-Nya sebab melayani manusia adalah juga melayani Tuhan (Manava Seva Madhava Seva

Rabu, 18 Juni 2014

Keyakinan pada nama Tuhan

Setelah memenggal 10 kepala Rahwana dan membebaskan Sita, Rama dan Wibisana serta beberapa pengikutnya yangg tersisa kembali ke Ayodya. Setelah penobatannya selesai, semua undangan kembali ke rumahnya masing-masing.
Wibisana atas kehendak Rama harus tinggal  beberapa lama lagi, masalahnya sekarang, bagaimana pengikut Wibisana kembali ke alengka karena jembatan (Situbanda) yang akan dilalui telah dimusnahkan.
Bagi Wibisana hal tersebut mudah diatasi. Kemudian ia mengumpulkan daun-daun kering dan menulis nama "SRI RAMA" dan menaruhnya dalam sebuah simpul sepotong kain dan meminta pengikutnya untuk menggenggam dan Wibisana berkata "Peganglah simpul ini dengan kuat dan celupkan ke dalam samudra yang akan memberimu keselamatan".

Dengan kepercayaannya, para raksasa memegang simpul itu kuat-kuat dan menyebur ke dalam laut dan alangkah ajaibnya, yaitu dalamnya lautan menjadi hanya sebatas lutut. Para raksasa dengan mudah menyebrangi laut menuju ke seberang lainnya.
Tetapi begitu sampai di tengah laut, semacam keangkuhan diri dan ketidakpercayaan diri melandanya dan merampas berkat dari junjungannya. Dia berpikir "Apa mungkin yang ada di dalam simpul junjunganku ini yang bekerja ajaib semacam ini?".
Segera muncul keingintahuan terhadap isi yang terdapat dalam kain tersebut dan ia membukanya untuk melihat isinya. Kemudian hanya dengan melihat daun kering itu saja membuat mereka tertawa dan mengejeknya. Lalu ketika ia melihat nama "SRI RAMA" tertulis disana, sikap sombongnya bertambah besar dan membuatnya ragu-ragu : "Apa pula ini? Dapatkah nama ini menggerakkan malapetaka semacam itu di samudra ini?"
Tidak berselang lama gelombang laut yang buas tiba-tiba muncul di hadapannya dan menelan raksasa itu ke tengah laut.
Cerita tersebut diatas hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang membuktikan efektivitas nama "TUHAN" yang bila dilakukan dengan penuh rasa percaya akan mengubah keragu-raguan dan ketidakpercayaan.
Kepercayaan merupakan faktor utama dijalan bhakti. Tidak ada bhakti tanpa kepercayaan.

Jumat, 11 April 2014

MATTA PITHA PADAM ABHISEKA



Setelah sukses dengan acara pemberkatan dan doa bersama secara massal bagi pasangan suami istri yang telah menjalani usia pernikahan mereka lebih dari ¼ abad atau minimal 25 tahun dengan kebersamaan, Sai Study Group Singaraja kembali mengadakan kegiatan untuk membangkitkan sekaligus menggali pesan moral tradisi sungkeman atau di Bali dikenal dengan istilah “Nyumbah” menyembah atau bersujud di kaki orang tua. Karena selama ini secara umum kegiatan sujud untuk memberikan penghormatan kepada orang tua hanya dilakukan saat mereka sudah meninggal sewaktu tubuh mereka telah terbujur kaku tanpa jiwa. Padahal sejatinya tradisi adi luhung ini harus dilakukan jauh-jauh hari semasih orang tua memiliki rasa dan kemampuan untuk menjalani sekaligus menanggapi maksud dari upacara dimaksud. Di India sendiri sebagai cikal bakal budaya Hinduisme, tradisi membasuh kaki kedua orang tua semasih hidupnya adalah sesuatu yang boleh dikatakan wajib bagi anak-anak sebab bagaimanapun, dalam kegiatannya sehari-hari sudah barang tentu seorang anak pasti pernah saja melakukan kesalahan baik dalam perbuatan maupun kata-kata kepada orang tua mereka baik itu secara tidak sengaja maupun karena lepas control demikian halnya orang tua walaupun dipenuhi dengan kasih dalam membesarkan anaknya tapi kemungkinan mereka pernah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai orang tua adalah juga merupakan hal yang pasti.

Selasa, 07 Januari 2014

Wejangan Sri Krishna kepada ratu Gandhari (Peran seorang Ibu)

Setelah pertempuran di Kuruksetra. Krishna mengunjungi ratu Gandhari untuk menghiburnya. Ratu Gandhari menyalahkan Krishna, "Walaupun Paduka seorang Awatara, bagaimana paduka bisa demikian pilih kasih?. Paduka mendukung Pandawa, tetapi tidak dapat menyelamatkan sekurang-kurangnya satu saja dari seratus anak kandung saya?"
Krishna menjawab, "Saudariku, saya tidak bertanggung jawab atas kematian anak-anak anda. Anda sendirilah yang bertanggung jawab"

Gandhari menjawab, "Krishna, bagaimana paduka begitu tega menyalahkan saya seperti itu?"
Krishna menjawab, "Saudari-ku, anda melahirkan seratus anak, tetapi pernahkah anda memandang dengan kasih, paling tidak kepada satu dari mereka?. Anda memilih tetap menutup mata anda. Anda tidak dapat menyaksikan sendiri bagaimana keadaan putra-putra anda. Putra-putra anda memang malang sekali karena mereka tidak dapat menikmati perhatian ibunya yang lembut dan pandangannya yang penuh kasih sayang. Bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi pahlawan yang berdisiplin, bertanggung jawab dan berbudi?
Ibu adalah Guru dan pengajar pertama. Coba pikirkan sendiri situasinya dan bandingkan dengan Ratu Kunti. Sejak saat meninggal suaminya, Kunti memelihara putra-putranya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ia bersama mereka baik di istana maupun di rumah kardus. Pandawa tidak pernah melakukan sesuatu tanpa restu ibunya. Mereka memperoleh restu dan anugerah saya bukan karena bakat mereka secara individual, tetapi karena doa Kunti yang terus menerus kepada Saya, "Oh, Krishna! hanya padukalah yang harus melindungi mereka".
Mereka yang tidak cukup beruntung menikmati pandangan ibunya yang tulus dan penuh kasih sayang, tidak dapat memperoleh penampakan Tuhan ataupun mendapatkan kasih sayang Tuhan".
Demikianlah Krishna memberi wejangan pada Gandhari tentang peran seorang ibu.

Taken from book entitle : Wanita by Bhagavan Sri Sathya Sai Baba