Jumat, 19 April 2013

Apa salahnya makan daging?



System pendidikan kesehatan di Indonesia khususnya dari bangku sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi selalu menyelipkan pentingnya mengkonsumsi daging untuk menjaga pertumbuhan dan kebugaran badan apalagi daging dinilai memiliki asupan protein yang cukup kaya. Penjelasan dan pengertian seperti inilah yang akhirnya tertanam dalam mindset masyarakat disamping karena ketidak berdayaan mereka menguasai lidah yang terus menuntut rasa nikmat dari setiap masakan yang disajikan. Namun seiring perjalanan waktu dan perkembangan pola makan yang tidak baik, akhirnya banyak kalangan menyadari bahwa konsumsi daging ternyata membawa efek yang tidak baik bagi kesehatan terbukti dengan semakin banyaknya bermunculan gejala penyakit yang pengobatannya justru mengharuskan si penderita untuk mengurangi dan bahkan berhenti untuk mengkonsumsi daging untuk selanjutnya berpindah menjadi seorang Vegetarian. Tentu kenyataan demikian akan menjadi hal yang cukup menyulitkan jika seseorang harus beralih menjadi seorang vegetarian karena dipaksa oleh penyakitnya terlebih jika orang dimaksud sudah sangat diperbudak kenikmatan unsur daging hewani sehingga dalam ketidak berdayaannya menguasai tuntutan lidah, mereka sering melanggar dan mengabaikan peringatan dokter yang seringkali dapat berakibat fatal bagi kehidupannya. Lalu seberapa pentingkah daging ini sebenarnya bagi kehidupan manusia ?


Dalam tatanan 4 sehat 5 sempurna sebagaimana diperkenalkan dalam dunia pendidikan di Indonesia, kita bisa menjumpai bahwa daging ditempatkan sebagai unsur makanan yang sarat dengan protein yang sangat diperlukan oleh tubuh. Sebatas manfaat protein bagi tubuh, hal tersebut memang bisa dibenarkan, tetapi jika beranggapan bahwa daging hanyalah satu-satunya makanan yang mengandung protein, tentu tidak bisa dibenarkan karena selain daging, biji-bijian seperti kacang kedelai juga memiliki unsure protein yang sama yang bisa menggantikan daging dalam hal ini. seseorang vegetarian memang seringkali akan terlihat kurang energik dan tekanan darah kurang baik jika ia tidak mengimbangi pola makannya dengan konsumsi biji-bijian yang seimbang. Kenyataan ini pulalah yang seringkali menjadi salah satu factor penyebab seseorang enggan untuk menjadi vegetarian karena beranggapan bahwa dengan tidak mengkonsumsi daging, maka badan akan menjadi lemah, otak lambat dan pertumbuhanpun terganggu. Memang sangat disayangkan bahwasannya pemikiran seperti inipun ternyata masih banyak dijumpai di kalangan masyarakat yang telah menekuni spiritual sebagai jalan hidupnya sehingga terkesan menjadi sebuah kontradiktif dimana spiritual yang mengajarkannya guna menumbuhkan rasa kasih sayang mesti dibangun dari unsure pembunuhan yang sama sekali jauh dari prinsip kasih. Sebab bagaimana tidak, karena mereka yang masih mengkonsumsi daging tidak akan pernah perduli atau bahkan tidak sempat membayangkan bagaimana jerit tangis dan ketakutan dari hewan yang tak punya salah apa-apa ini yang harus dipisahkan dari keluarganya lalu dibunuh dengan tanpa rasa bersalah hanya demi memenuhi tuntutan lidah manusia akan rasa nikmat dari daging mereka.

Jawaban yang paling sering kita dengar dari mereka adalah bahwasannya manusia di berhakkan atas kehidupan para mahluk di bawah manusia, apalagi jika pembantaian itu akhirnya dilabel atas nama persembahan untuk Tuhan dan dalam prosesnya telah menggunakan mantram penyupatan. Sungguh sebuah sanggahan yang indah. Namun seberapa kuatkah alasan ini dan adakah sumber sastra valid yang bisa dijadikan acuan? Mari coba kita bahas satu persatu. Pertama jika manusia memang diberhakkan atas kehidupan para mahluk yang diklaim sebagai yang lebih rendah kwalitasnya dari manusia, maka hal ini tentu akan sangat bertentangan dengan sabda Tuhan Sri Krishna dalam Bhagavad gita Bab III.14. bahwasannya Semua badan yang bernyawa hidup dari makan biji-bijian, yang dihasilkan oleh hujan, hujan dilaksanakan oleh pelaksanaan yajna (korban suci) dan yajna dihasilkan dari tugas kewajiban yang telah ditetapkan. Selain itu jika manusia merasa paling berhak menentukan hidup para mahluk di bawah kwalitas mereka, lalu bagaimana jika para mahluk di atas manusia juga menyatakan hal yang sama, bahwa mereka diberhakkan untuk menentukan kehidupan manusia? Akankah kita bisa menerima kenyataan dan rela melepaskan anak yang kita sayangi direnggut dari kasih keluarga untuk kemudian dijadikan sebagai sarana upacara? Saya yakin jawabannya tidak! Karena saat menghadapi musibah kecil saja manusia paling rajin menyalahkan Tuhan karena menganggapnya sudah tuli atau buta dalam mendengar doa-doanya. Inilah satu bukti betapa manusia diliputi oleh sifat egoisme mementingkan diri sendiri saja. Selanjutnya jika proses pembunuhan hewan itu diklaim sebagai bentuk persembahan, ini harus dipertegas kembali dengan pertanyaan ‘Persembahan untuk siapa?” kalau persembahan itu diperuntukkan untuk para bhuta, tentu masih bisa dibenarkan tetapi jika dikatakan bahwa persembahan demikian untuk Tuhan, tentu ini harus diluruskan. Sebab bagaimana mungkin Tuhan yang merupakan ayah dan ibu bagi semua mahluk dapat membiarkan anaknya yang merasa lebih tinggi, membunuh saudaranya sendiri, lalu mempersembahkan jerit tangis ketakutan mereka sebagai kidung nyanyian serta daging tubuh mereka sebagai bhoga / hidangan bagi orangtua.(bayangkan jika kita diposisi orang tua demikian, sungguh tegakah kita membiarkan anak yang lebih tua menganiyaya dan membunuh adiknya dengan alasan untuk menyenangkan orang tua dengan persembahan khusus?). selanjutnya jika manusia mengatakan bahwa  roh dari binatang yang dipakai kurban itu telah di doakan agar mencapai kwalitas hidup yang lebih baik, diangkat ke alam para dewa, maka bodoh benar kita sebagai manusia yang bisa nyupat mahluk lain tetapi tidak berusaha nyupat dan mengantarkan roh kita sendiri atau para keluarga dekat agar bisa mencapai alam kedewataan guna menikmati kesenangan dan kebahagiaan hidup yang lebih baik dari kehidupan sekarang di bhumi. Bukankah di surga, manusia tidak perlu susah payah bekerja atau bahkan mencari untung dari pelaksanaan upacara agama sebab di alam surga manusia hanya menikmati pahala subhakarmanya saja. Kita juga tidak bisa memungkiri bahwasannya kwalitas kesucian orang-orang yang mengaku bisa “nyupat” sekarang ini, masih sangat jauh dari kwalitas para pendeta jaman dulu yang selalu memelihara kesucian lahir bhatinnya sehingga memiliki kemampuan untuk mengantarkan langsung roh para binatang yang dikurbankan ke alam yang lebih tinggi tingkatannya dari dunia hewan. Lagipula hewan yang dikurbankan pada saat itu, setelah masuk ke dalam api kurban, tidak akan diambil dagingnya untuk dimakan. Tidak seperti saat sekarang dimana sebagian besar dagingnya disisihkan untuk dirinya sendiri dan hanya sebagian kecilnya saja yang dipakai persembahan.

Lantas bagaimana jika seseorang bersikeras berpendapat bahwa kehidupan harus disokong dengan pengorbanan dari kehidupan mahluk lain.? Tentu ini ada benarnya karena saat kita bernafaspun manusia menghirup puluhan mikroba dalam udara yang berarti juga membunuhnya, namun perlu di garis bawahi bahwasannya pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan atau terjadi sebagai prasyarat untuk hidup masih bisa ditolelir, sedangkan dalam proses pembunuhan untuk dimakan, ini jelas tidak masuk dalam criteria diatas sebab tanpa mengkonsumsi dagingpun, kehidupan manusia tetap masih bisa terjaga. Namun apapun pilihan seseorang entah ia melakoni hidup sebagai seorang vegetarian atau pengkonsumsi daging, semuanya akan kembali pada diri masing-masing. Seseorang yang masih memikirkan badannya tentu akan memilih daging sebagai sebuah keharusan sedangkan mereka yang ingin menekuni dan meningkatkan spiritualitasnya sangat disarankan untuk menjadi vegetarian demi untuk menumbuhkan prema bhakti yang lebih baik disamping untuk menghindari efek dosa dari pembunuhan dimaksud sekaligus menjaga kemurnian pikiran, sebab jika seorang penekun spiritual masih mengkonsumsi daging, maka bisa dipastikan bahwa pikirannya juga akan tercemar oleh racun dari daging hewan yang dibunuh sebagaimana sifat-sifat binatang dimaksud yang juga akan laten menyusup dalam kesadarannya. Oleh karena itu mari belajar bervegetarian karena sebuah kesadaran daripada nantinya harus dipaksa oleh keadaan karena sebuah penyakit yang mengharuskan kita menjauhi daging. Sairam.

Oleh : Kadek Wira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar