System pendidikan kesehatan di Indonesia khususnya dari
bangku sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi selalu menyelipkan
pentingnya mengkonsumsi daging untuk menjaga pertumbuhan dan kebugaran badan
apalagi daging dinilai memiliki asupan protein yang cukup kaya. Penjelasan dan
pengertian seperti inilah yang akhirnya tertanam dalam mindset masyarakat
disamping karena ketidak berdayaan mereka menguasai lidah yang terus menuntut
rasa nikmat dari setiap masakan yang disajikan. Namun seiring perjalanan waktu
dan perkembangan pola makan yang tidak baik, akhirnya banyak kalangan menyadari
bahwa konsumsi daging ternyata membawa efek yang tidak baik bagi kesehatan
terbukti dengan semakin banyaknya bermunculan gejala penyakit yang
pengobatannya justru mengharuskan si penderita untuk mengurangi dan bahkan
berhenti untuk mengkonsumsi daging untuk selanjutnya berpindah menjadi seorang
Vegetarian. Tentu kenyataan demikian akan menjadi hal yang cukup menyulitkan
jika seseorang harus beralih menjadi seorang vegetarian karena dipaksa oleh penyakitnya
terlebih jika orang dimaksud sudah sangat diperbudak kenikmatan unsur daging
hewani sehingga dalam ketidak berdayaannya menguasai tuntutan lidah, mereka
sering melanggar dan mengabaikan peringatan dokter yang seringkali dapat
berakibat fatal bagi kehidupannya. Lalu seberapa pentingkah daging ini
sebenarnya bagi kehidupan manusia ?
Dalam tatanan 4 sehat 5 sempurna sebagaimana diperkenalkan
dalam dunia pendidikan di Indonesia, kita bisa menjumpai bahwa daging
ditempatkan sebagai unsur makanan yang sarat dengan protein yang sangat
diperlukan oleh tubuh. Sebatas manfaat protein bagi tubuh, hal tersebut memang
bisa dibenarkan, tetapi jika beranggapan bahwa daging hanyalah satu-satunya
makanan yang mengandung protein, tentu tidak bisa dibenarkan karena selain
daging, biji-bijian seperti kacang kedelai juga memiliki unsure protein yang
sama yang bisa menggantikan daging dalam hal ini. seseorang vegetarian memang
seringkali akan terlihat kurang energik dan tekanan darah kurang baik jika ia
tidak mengimbangi pola makannya dengan konsumsi biji-bijian yang seimbang. Kenyataan
ini pulalah yang seringkali menjadi salah satu factor penyebab seseorang enggan
untuk menjadi vegetarian karena beranggapan bahwa dengan tidak mengkonsumsi
daging, maka badan akan menjadi lemah, otak lambat dan pertumbuhanpun
terganggu. Memang sangat disayangkan bahwasannya pemikiran seperti inipun
ternyata masih banyak dijumpai di kalangan masyarakat yang telah menekuni
spiritual sebagai jalan hidupnya sehingga terkesan menjadi sebuah kontradiktif
dimana spiritual yang mengajarkannya guna menumbuhkan rasa kasih sayang mesti
dibangun dari unsure pembunuhan yang sama sekali jauh dari prinsip kasih. Sebab
bagaimana tidak, karena mereka yang masih mengkonsumsi daging tidak akan pernah
perduli atau bahkan tidak sempat membayangkan bagaimana jerit tangis dan
ketakutan dari hewan yang tak punya salah apa-apa ini yang harus dipisahkan
dari keluarganya lalu dibunuh dengan tanpa rasa bersalah hanya demi memenuhi
tuntutan lidah manusia akan rasa nikmat dari daging mereka.
Jawaban yang paling sering kita dengar dari mereka adalah
bahwasannya manusia di berhakkan atas kehidupan para mahluk di bawah manusia,
apalagi jika pembantaian itu akhirnya dilabel atas nama persembahan untuk Tuhan
dan dalam prosesnya telah menggunakan mantram penyupatan. Sungguh sebuah
sanggahan yang indah. Namun seberapa kuatkah alasan ini dan adakah sumber
sastra valid yang bisa dijadikan acuan? Mari coba kita bahas satu persatu. Pertama
jika manusia memang diberhakkan atas kehidupan para mahluk yang diklaim sebagai
yang lebih rendah kwalitasnya dari manusia, maka hal ini tentu akan sangat
bertentangan dengan sabda Tuhan Sri Krishna dalam Bhagavad gita Bab III.14.
bahwasannya Semua badan yang bernyawa
hidup dari makan biji-bijian, yang dihasilkan oleh hujan, hujan dilaksanakan
oleh pelaksanaan yajna (korban suci) dan yajna dihasilkan dari tugas kewajiban
yang telah ditetapkan. Selain itu jika manusia merasa paling berhak
menentukan hidup para mahluk di bawah kwalitas mereka, lalu bagaimana jika para
mahluk di atas manusia juga menyatakan hal yang sama, bahwa mereka diberhakkan
untuk menentukan kehidupan manusia? Akankah kita bisa menerima kenyataan dan
rela melepaskan anak yang kita sayangi direnggut dari kasih keluarga untuk
kemudian dijadikan sebagai sarana upacara? Saya yakin jawabannya tidak! Karena saat
menghadapi musibah kecil saja manusia paling rajin menyalahkan Tuhan karena
menganggapnya sudah tuli atau buta dalam mendengar doa-doanya. Inilah satu
bukti betapa manusia diliputi oleh sifat egoisme mementingkan diri sendiri
saja. Selanjutnya jika proses pembunuhan hewan itu diklaim sebagai bentuk
persembahan, ini harus dipertegas kembali dengan pertanyaan ‘Persembahan untuk
siapa?” kalau persembahan itu diperuntukkan untuk para bhuta, tentu masih bisa
dibenarkan tetapi jika dikatakan bahwa persembahan demikian untuk Tuhan, tentu
ini harus diluruskan. Sebab bagaimana mungkin Tuhan yang merupakan ayah dan ibu
bagi semua mahluk dapat membiarkan anaknya yang merasa lebih tinggi, membunuh
saudaranya sendiri, lalu mempersembahkan jerit tangis ketakutan mereka sebagai
kidung nyanyian serta daging tubuh mereka sebagai bhoga / hidangan bagi
orangtua.(bayangkan jika kita diposisi orang tua demikian, sungguh tegakah kita
membiarkan anak yang lebih tua menganiyaya dan membunuh adiknya dengan alasan
untuk menyenangkan orang tua dengan persembahan khusus?). selanjutnya jika
manusia mengatakan bahwa roh dari
binatang yang dipakai kurban itu telah di doakan agar mencapai kwalitas hidup
yang lebih baik, diangkat ke alam para dewa, maka bodoh benar kita sebagai
manusia yang bisa nyupat mahluk lain tetapi tidak berusaha nyupat dan
mengantarkan roh kita sendiri atau para keluarga dekat agar bisa mencapai alam
kedewataan guna menikmati kesenangan dan kebahagiaan hidup yang lebih baik dari
kehidupan sekarang di bhumi. Bukankah di surga, manusia tidak perlu susah payah
bekerja atau bahkan mencari untung dari pelaksanaan upacara agama sebab di alam
surga manusia hanya menikmati pahala subhakarmanya saja. Kita juga tidak bisa
memungkiri bahwasannya kwalitas kesucian orang-orang yang mengaku bisa “nyupat”
sekarang ini, masih sangat jauh dari kwalitas para pendeta jaman dulu yang
selalu memelihara kesucian lahir bhatinnya sehingga memiliki kemampuan untuk
mengantarkan langsung roh para binatang yang dikurbankan ke alam yang lebih
tinggi tingkatannya dari dunia hewan. Lagipula hewan yang dikurbankan pada saat
itu, setelah masuk ke dalam api kurban, tidak akan diambil dagingnya untuk
dimakan. Tidak seperti saat sekarang dimana sebagian besar dagingnya disisihkan
untuk dirinya sendiri dan hanya sebagian kecilnya saja yang dipakai
persembahan.
Lantas bagaimana jika seseorang bersikeras berpendapat bahwa
kehidupan harus disokong dengan pengorbanan dari kehidupan mahluk lain.? Tentu
ini ada benarnya karena saat kita bernafaspun manusia menghirup puluhan mikroba
dalam udara yang berarti juga membunuhnya, namun perlu di garis bawahi
bahwasannya pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan atau terjadi sebagai
prasyarat untuk hidup masih bisa ditolelir, sedangkan dalam proses pembunuhan
untuk dimakan, ini jelas tidak masuk dalam criteria diatas sebab tanpa
mengkonsumsi dagingpun, kehidupan manusia tetap masih bisa terjaga. Namun apapun
pilihan seseorang entah ia melakoni hidup sebagai seorang vegetarian atau
pengkonsumsi daging, semuanya akan kembali pada diri masing-masing. Seseorang yang
masih memikirkan badannya tentu akan memilih daging sebagai sebuah keharusan
sedangkan mereka yang ingin menekuni dan meningkatkan spiritualitasnya sangat
disarankan untuk menjadi vegetarian demi untuk menumbuhkan prema bhakti yang
lebih baik disamping untuk menghindari efek dosa dari pembunuhan dimaksud
sekaligus menjaga kemurnian pikiran, sebab jika seorang penekun spiritual masih
mengkonsumsi daging, maka bisa dipastikan bahwa pikirannya juga akan tercemar
oleh racun dari daging hewan yang dibunuh sebagaimana sifat-sifat binatang
dimaksud yang juga akan laten menyusup dalam kesadarannya. Oleh karena itu mari
belajar bervegetarian karena sebuah kesadaran daripada nantinya harus dipaksa
oleh keadaan karena sebuah penyakit yang mengharuskan kita menjauhi daging. Sairam.
Oleh : Kadek Wira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar