Ada sebuah rumah tangga yang dalam kehidupannya dapat dikategorikan kehidupan kelas menengah, hidup berkecukupan.
Tampak seorang istri yang sangat taat beribadah dan setia pada suaminya
seringkali mengingatkan suaminya dan memohon pada suaminya agar mau
berdoa sebentar saja dan memuja Tuhan dengan hormat.
Tetapi suaminya tidak pernah mau menurut dan ia berkata, "aku tidak
pernah mempunyai waktu untuk itu, sebab dengan berdoa berarti aku akan
membuang-buang waktu dengan sia-sia dan berdoa hanyalah baik dilakukan
pada saat usia sudah lanjut atau ketika proses lahir dan batin mengalami
kemunduran yang wajar.
Berdoa boleh dilakukan bila ada waktu cukup banyak", begitulah perkataan si suami.
Si istri yang saleh ini tidak puas mendengar jawaban tersebut, ia hanya
dapat menunggu adanya kesempatan yang lebih baik agar nasihat-nasihatnya
mau didengar dan diterima.
Pada suatu ketika si suami menderita penyakit yang sangat parah dan
terpaksa berbaring beberapa minggu di rumah sakit. Para dokter yang
merawatnya memberikan obat-obatan yang harus diminum 3 kali sehari untuk
mempercepat kesembuhannya, si istri menerima tugas yang dilimpahkan
oleh dokter tersebut dan menyimpannya obat itu.
Obat itu hanya disimpan saja, satupun tidak diberikan pada suaminya.
Si suami marah melihat tingkah laku dan sifat istrinya itu yang tidak
pernah mau mengalah. Ia menghendaki obat tersebut, tetapi istrinya tetap
pada keputusannya. Ketika si sumai bertanya, "Apakah engkau
bersekongkol untuk membunuhku?".
Si istri menjawab, "Tunggu, tunggu, mengapa engkau begitu tergesa-gesa
ingin segera minum obat?. Biarlah penyakit itu menjadi semakin parah,
mengapa terburu-buru?. Perlahan-lahan saja, ada cukup banyak waktu,
seperti katamu ketika aku menginginkanmu untuk berdoa dan melakukan
"Namasmaranam".
Si suami itu menyadari kebodohannya yang selama ini ia lakukan dan ia
pun mulai memperbaiki sikap hidupnya tanpa disadari ia sembuh dari dua
macam penyakit yang ia derita.
Selasa, 15 Juli 2014
Jumat, 11 Juli 2014
Upanayana di SSG Singaraja
Untuk menandai hari dimulainya sekolah bagi anak-anak Bal Vikas, SSG Singaraja kembali menggelar upacara pemberian benang suci atau upanayana kepada beberapa calon siswa yang akan memasuki jenjang Brahmacari. upacara ini dirangkaikan pula dengan upacara Abhiseka patung Sri Maha Ganesh yang telah menjadi agenda rutin SSG Singaraja setiap Purwaning Purnama setiap bulannya.
Upanayana adalah samskara
atau ritual upacara dimana anak muda diupacarai dengan "benang suci" dan
diinisiasi kedalam Gayatri Mantra. Gayatri adalah mantra paling suci dari semua mantra
dan merupakan warisan tak ternilai yang telah
diwariskan oleh kaum bijak waskita jaman
dulu. Hanya setelah upanayana ini dilakukan, seorang anak baru memenuhi syarat untuk mempelajari Veda. Samskara ini
menandakan kelahiran kembali seseorang
dalam spiritual. Sehingga ia dinamakan
sebagai seorang dvija atau
Yang telah lahir dua kali.
Secara etimologi, kata upanayana berarti 'mengambil dekat' atau 'yang mengarah ke' atau 'memulai'. Pada jaman dahulu ketika mode kitab suci diberlakukan, beberapa hal yang ketat harus diikuti, seorang ayah yang ingin melakukan ritual upanayana ini, memulainya dengan memberikan putranya nyanyian mantra Gayatri. Proses ini disebut sebagai brahmopadesa. Segera setelah Upanayana, ayah akan membimbing anaknya (Calon Brahmachari muda) untuk mendapatkan seorang guru yang dipilih untuk kemudian ditinggalkannya di bawah asuhan guru. Siswa ini sejak saat itu tinggal di Gurukula, menghadiri setiap pelajaran maupun kegiatan yang diberikan oleh acharya yang mengajarinya Veda dan Upanishad maupun kitab suci lainnya. Dengan demikian upacara upanayana terbuka untuk Brahmachari muda, guna memperoleh gambaran tentang suksesi gerbang menuju tujuan akhir dari eksistensi manusia - realisasi Tuhan. Dalam skema dari empat asramas ditentukan dalam kitab suci bagi seorang individu, upacara upanayana menandakan masuknya seseorang ke dalam tahap Asrama pertama - yaitu brahmacharya.
Secara etimologi, kata upanayana berarti 'mengambil dekat' atau 'yang mengarah ke' atau 'memulai'. Pada jaman dahulu ketika mode kitab suci diberlakukan, beberapa hal yang ketat harus diikuti, seorang ayah yang ingin melakukan ritual upanayana ini, memulainya dengan memberikan putranya nyanyian mantra Gayatri. Proses ini disebut sebagai brahmopadesa. Segera setelah Upanayana, ayah akan membimbing anaknya (Calon Brahmachari muda) untuk mendapatkan seorang guru yang dipilih untuk kemudian ditinggalkannya di bawah asuhan guru. Siswa ini sejak saat itu tinggal di Gurukula, menghadiri setiap pelajaran maupun kegiatan yang diberikan oleh acharya yang mengajarinya Veda dan Upanishad maupun kitab suci lainnya. Dengan demikian upacara upanayana terbuka untuk Brahmachari muda, guna memperoleh gambaran tentang suksesi gerbang menuju tujuan akhir dari eksistensi manusia - realisasi Tuhan. Dalam skema dari empat asramas ditentukan dalam kitab suci bagi seorang individu, upacara upanayana menandakan masuknya seseorang ke dalam tahap Asrama pertama - yaitu brahmacharya.
Langganan:
Postingan (Atom)