Ada sebuah rumah tangga yang dalam kehidupannya dapat dikategorikan kehidupan kelas menengah, hidup berkecukupan.
Tampak seorang istri yang sangat taat beribadah dan setia pada suaminya
seringkali mengingatkan suaminya dan memohon pada suaminya agar mau
berdoa sebentar saja dan memuja Tuhan dengan hormat.
Tetapi suaminya tidak pernah mau menurut dan ia berkata, "aku tidak
pernah mempunyai waktu untuk itu, sebab dengan berdoa berarti aku akan
membuang-buang waktu dengan sia-sia dan berdoa hanyalah baik dilakukan
pada saat usia sudah lanjut atau ketika proses lahir dan batin mengalami
kemunduran yang wajar.
Berdoa boleh dilakukan bila ada waktu cukup banyak", begitulah perkataan si suami.
Si istri yang saleh ini tidak puas mendengar jawaban tersebut, ia hanya
dapat menunggu adanya kesempatan yang lebih baik agar nasihat-nasihatnya
mau didengar dan diterima.
Pada suatu ketika si suami menderita penyakit yang sangat parah dan
terpaksa berbaring beberapa minggu di rumah sakit. Para dokter yang
merawatnya memberikan obat-obatan yang harus diminum 3 kali sehari untuk
mempercepat kesembuhannya, si istri menerima tugas yang dilimpahkan
oleh dokter tersebut dan menyimpannya obat itu.
Obat itu hanya disimpan saja, satupun tidak diberikan pada suaminya.
Si suami marah melihat tingkah laku dan sifat istrinya itu yang tidak
pernah mau mengalah. Ia menghendaki obat tersebut, tetapi istrinya tetap
pada keputusannya. Ketika si sumai bertanya, "Apakah engkau
bersekongkol untuk membunuhku?".
Si istri menjawab, "Tunggu, tunggu, mengapa engkau begitu tergesa-gesa
ingin segera minum obat?. Biarlah penyakit itu menjadi semakin parah,
mengapa terburu-buru?. Perlahan-lahan saja, ada cukup banyak waktu,
seperti katamu ketika aku menginginkanmu untuk berdoa dan melakukan
"Namasmaranam".
Si suami itu menyadari kebodohannya yang selama ini ia lakukan dan ia
pun mulai memperbaiki sikap hidupnya tanpa disadari ia sembuh dari dua
macam penyakit yang ia derita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar