Jumat, 11 April 2014

MATTA PITHA PADAM ABHISEKA



Setelah sukses dengan acara pemberkatan dan doa bersama secara massal bagi pasangan suami istri yang telah menjalani usia pernikahan mereka lebih dari ¼ abad atau minimal 25 tahun dengan kebersamaan, Sai Study Group Singaraja kembali mengadakan kegiatan untuk membangkitkan sekaligus menggali pesan moral tradisi sungkeman atau di Bali dikenal dengan istilah “Nyumbah” menyembah atau bersujud di kaki orang tua. Karena selama ini secara umum kegiatan sujud untuk memberikan penghormatan kepada orang tua hanya dilakukan saat mereka sudah meninggal sewaktu tubuh mereka telah terbujur kaku tanpa jiwa. Padahal sejatinya tradisi adi luhung ini harus dilakukan jauh-jauh hari semasih orang tua memiliki rasa dan kemampuan untuk menjalani sekaligus menanggapi maksud dari upacara dimaksud. Di India sendiri sebagai cikal bakal budaya Hinduisme, tradisi membasuh kaki kedua orang tua semasih hidupnya adalah sesuatu yang boleh dikatakan wajib bagi anak-anak sebab bagaimanapun, dalam kegiatannya sehari-hari sudah barang tentu seorang anak pasti pernah saja melakukan kesalahan baik dalam perbuatan maupun kata-kata kepada orang tua mereka baik itu secara tidak sengaja maupun karena lepas control demikian halnya orang tua walaupun dipenuhi dengan kasih dalam membesarkan anaknya tapi kemungkinan mereka pernah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai orang tua adalah juga merupakan hal yang pasti.


Oleh karena itulah maka tradisi bersujud kepada orang tua sebagai tanda penghormatan dan penghargaan atas semua hal baik yang pernah mereka lakukan demi untuk membesarkan sang anak harus terus dipelihara dan dipertahankan. Terlebih dalam menghadapi arus jaman yang semakin keras oleh pengaruh Kali Yuga dimana banyak kita temukan ketidak harmonisan antara anak dan orang tua dan khususnya lagi antara mertua dan menantu padahal dalam kitab suci semua agama telah tercantum dengan jelas tentang bagaimana pentingnya membina keharmonisan hidup dalam rumah tangga bagi kedamaian jagat raya. Sebab jika di masing-masing rumah tangga sebagai lingkup terkecil dari sebuah komunitas, orang-orangnya bisa hidup tentram dan saling menghormati, maka tentu ketentraman dan kedamaian akan tercipta dalam lingkup yang lebih besar lagi yakni kedamaian dalam satu desa. Selanjutnya jika masing-masing orang yang bertempat tinggal dalam sebuah desa bisa menciptakan kerukunan dan keharmonisan antar desa lainnya, maka tentulah hal ini akan berdampak pada terciptanya rasa damai dalam sebuah daerah, dan demikian seterusnya. Oleh karena itulah maka langkah awal yang bisa kita ambil untuk merealisasikan kata Shanti atau Damai sebagaimana tercantum dalam setiap mantram akhir dalam doa-doa hindu adalah dengan memulainya dari diri sendiri dengan membangkitkan kedamaian itu melalui pengembangan kasih sayang yang sudah laten ada dalam setiap Individu. Misalnya dengan melakukan perenungan sekaligus penyadaran atas kasih sayang orang tua yang telah diterima sejak masih dalam kandungan sampai anak yang bersangkutan besar dan mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. 


Bagaimana seorang Mertua bisa memperlakukan dan menganggap menantu sebagai anaknya sendiri dan juga sebaliknya bagaimana seorang Menantu mau dan mampu menyayangi mertuanya sebagaimana ia mengasihi kedua orang tua kandungnya. Epos besar Mahabharata adalah salah satu karya besar Rsi Agung Vyasa yang tetap bisa dijadikan contoh untuk menjalani kehidupan dalam era kekinian. Sebagaimana kita tahu dalam sejarah agung itu bagaimana sosok Dewi Kunti yang walaupun telah ditinggal mati oleh suaminya, namun ia tetap memegang prinsip keibuannya dalam mengasuh dan membesarkan kelima orang putranya (3 anak kandung yakni Yudistira, Bhima, dan Arjuna ditambah dengan 2 saudara kembar yang merupakan anak dari Dewi Madri yakni Nakula dan Sahadewa). Kasih sayang yang diberikan oleh Kunti sama rata antara yang diberikan kepada anak kandungnya sendiri maupun anak dari madunya (Dewi Madri). Begitu pula tentang kesabaran dan kesungguhan Kunti Dewi dalam merawat, menjaga dan melindungi putra-putranya. Ia penuhi hari-harinya dengan kasih sayang seorang ibu yang bahkan merelakan dirinya ikut menanggung susah dan penderitaan demi agar bisa menemani buah hatinya saat menjalani pembuangan di hutan selama 12 tahun. Pun hal indah yang telah diteladankan bagi kita semua ketika ia dibawakan menantu oleh kelima putranya, Kunti menyelesaikan permasalahan itu dengan sangat baik dan bijaksana dengan kasih sayang keibuannya. Begitulah pesan moral yang sangat luhur yang telah diperlihatkan kepada kita semua agar bisa dijadikan suluh atau cerminan dalam berprilaku di jaman Kali. Bahkan sebagaimana kita tahu bahwa dalam Tradisi Veda, menyentuh  kaki orang tua atau orang yang lebih tua dan disucikan  ketika mereka bertemu adalah sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Sehingga tidak mengherankan bahwasannya sastra menegaskan bahwa beberapa prasyarat untuk bisa mendapatkan kesucian bagi seseorang atau suatu tempat, salah satunya adalah ketika ia mendapatkan kesempatan untuk menghormati kaki orang tua, ataupun membasuh kaki brahmana dan memercikkan bekas air basuhan kaki orang suci itu. Tentu hal ini akan menjadi hal yang sangat baik jika kemudian dilanjutkan dengan rutinitas membaca kitab-kitab suci agama, menyanyikan kidung-kidung suci ketuhanan melalui bhajan atau kirtan, serta melakukan upacara yang sarat mantram-mantram suci.

Penghormatan kepada orang tua yang merupakan wakil nyata Tuhan di bhumi untuk memahami arti pentingnya kasih sayang yang merupakan landasan utama alam semesta memang terus harus digali dan dibudayakan dari sejak dini sehingga masing-masing pihak bisa menyadari keagungan dari tradisi ini sehingga seiring proses waktu, kekeliruan yang telah terjadi saat ini dimana secara umum masyarakat Hindu khususnya di Nusantara yang menanggap bahwa hal demikian hanya pantas dilakukan ketika orang tua sudah tiada, bisa mulai dibenahi. Sebab bagaimanapun, secara logika jika proses membasuh kaki orang tua itu dilakukan pada saat tubuh mereka sudah tidak berjiwa, maka perasaan timbal balik itu tidak akan bisa dirasakan secara maksimal karena badan yang sudah membujur kaku tentu tidak akan bisa merasakan apa-apa dan kalaupun sang jiwa yang masih terikat menyaksikan hal itu, maka tetap saja mereka tidak bisa berbuat banyak tanpa badan, tidak ada sentuhan dan berkat langsung yang bisa diterima anak-anak yang melakukan sembah sujud itu. Bahkan tak jarang kita temui bahwa prosesi itu hanya dilakukan sekedar memenuhi kewajiban atau dengan perasaan kurang nyaman karena harus melakukannya dengan keterpaksaan untuk menghindari kesan tidak baik saja. Padahal makna terdalam yang ingin diberikan dalam kegiatan tersebut adalah bagaimana kedua belah pihak (anak dan orang tua ataupun menantu dan mertua) mau melakukannya atas dasar kesadaran sendiri tanpa paksaan atau kewajiban yang sifatnya menuntut untuk dilakukan. Semuanya harus timbul dari dasar hati untuk melakukan permohonan maaf dan memaafkan demi terjalinnya ikatan bhatin kekeluargaan yang semakin harmonis.

Beranjak dari pemahaman itulah maka Sai Study Group Singaraja dengan sangat percaya diri menyelenggarakan tradisi membasuh kaki kedua orang tua ini dengan tajuk “ Matta Pitha Padam Abhiseka” yang diadakan di Ashram Prashanti Den Bukit Singaraja dengan diikuti oleh hampir 20 keluarga pada saat perayaan Eshvarambha day. Apa yang menjadi goal dari panitia pelaksana akhirnya menjadi kenyataan, karena saat kegiatan baru saja dimulai dalam chanting doa bersama dan ketika air untuk membasuh kaki orang tua dituangkan pertama kalinya, beberapa peserta tak kuasa untuk menahan isak tangis mereka. Suasana haru benar-benar mengelilingi tempat itu apalagi selama proses pembasuhan kaki orang tua itu berlangsung, diiringi dengan alunan mantram-mantram Veda yang begitu menggetarkan. Salah seorang peserta yang kebetulan baru pertama kali mengikuti kegiatan itu sampai menangis histeris menahan haru dan bahagia ketika anaknya bersujud dan mencium ibu jari kakinya sehingga ia harus dibantu oleh panitia agar bisa bertahan untuk memberikan berkat bagi putra putrinya. Keduanya menangis dan berpelukan penuh kebahagiaan sambil sesegukan menyatakan rasa sayang mereka. Sungguh pemandangan yang sangat membahagiakan saat menyaksikan anak dan orang tua, mertua dan menantu saling berangkulan dalam tangis kebahagiaan. Itulah kasih ketuhanan yang mulai menyembul dalam diri kita masing-masing.  Cerminan kasih sayang murni yang selama ini terus tertutupi oleh debu egoisme dan kontaminasi dunia.
Apa yang dilakukan oleh Sai Study Group ini ternyata memberikan kesan yang sangat positive dari beberapa orang yang mengikutinya, terbukti bahwa di penghujung acara ketika semua peserta mengadakan sesi ramah tamah, beberapa dari mereka mengutarakan maksud untuk bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua mereka ataupun kepada sanak keluarganya yang belum berkesempatan hadir untuk mengikutinya saat itu.  Menurut tradisi Hindu di India, kegiatan ini bisa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Menyiapkan alat dan bahan untuk membasuh kaki orang tua seperti Paso atau wadah yang cukup untuk menaruh kaki kedua orang tua di dalamnya, air bersih, air kunyit, susu sapi cair, air kumkuman atau air yang berisi taburan bunga-bunga harum, dan handuk atau lap kecil untuk mengeringkan. 

Prosesinya diawali dengan melakukan doa bersama, memohonkan kepada Sri Maha Ganesh dan Sad Guru agar ritual itu berjalan baik dan penuh keberkatan. Selanjutnya orang tua didudukkan pada tempat yang agak tinggi sementara anak-anaknya mulai menuangkan air bersih untuk membasuh dan membersihkan kaki mereka. Bahan-bahan yang dipergunakan bisa diurut dari air biasa, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan air kunyit, kemudian susu lalu diakhiri dengan menggunakan air kumkuman. Setelah kaki mereka dikeringkan dengan handuk atau lap, ia juga bisa diolesi dengan vibhuti.  Selama prosesi pembasuhan kaki orang tua itu, kedua belah pihak baik orang tua maupun anak harus tetap menjaga kesungguhan sambil melantunkan mantram-mantram suci dalam hatinya. Bagi orang tua yang mungkin tidak terlalu mengenal mantram-mantram Veda, maka aksara suci OM adalah alternative yang sangat baik untuk dipergunakan. Setelah pembasuhan kaki itu selesai, masing-masing anak melakukan sembah sujud mencium ibu jari kaki ayah dan ibu mereka sambil memohon maaf atas hal tak menyenangkan yang pernah mereka perbuat kepada orang tuanya. Sementara pihak orang tua harus mengelus kepala anak sambil memberikan maaf sekaligus memberkati mereka agar bisa menjadi anak suputra sesuai dengan kaidah agama. Setelah ini orang tua harus mengangkat bahu mereka dan memintanya berdiri untuk menerima kasih sayang lanjutan dalam pelukan hangat para orang tuanya. Prosesi ini diakhiri dengan mengelilingi orang tua sebanyak 3 kali putaran sambil melantunkan Gayatri Mantram.

Kitab Purana dalam hal ini Ganesha Purana pernah mengisahkan tentang manfaat dari mengelilingi orang tua yang merupakan wakil Tuhan di bhumi. Alam semesta hanyalah sebagian kecil dari kemahakuasaan Tuhan, oleh karena itulah dengan menyadari prinsip ketuhanan dalam diri orang tua maka secara tidak langsung kita juga akan disinergikan dengan alam dan lingkungan sehingga menunjang tercapainya keharmonisan hidup antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan juga hubungan manusia dengan alam lingkungan sebagaimana yang diinginkan dalam ajaran Tri Hita Karana. Oleh karena itulah hidup adalah merupakan kesempatan yang sangat baik bagi semua mahluk khususnya manusia untuk terus menciptakan harmonisasi dengan cara berkarma baik sebanyak mungkin dengan tetap melandaskan setiap kegiatan dalam prinsip saling asah, asih, dan asuh. Di Bali sendiri upacara seperti ini bisa dirangkaikan pada saat perayaan khusus bagi para leluhur misalnya menjelang Hari raya Galungan dan Kuningan dimana pada hari itu diyakini para leluhur akan berkunjung untuk menerima persembahan dari keluarganya masing-masing. Namun begitu mengingat bermaknanya tradisi itu, maka tidak menutup kemungkinan juga bahwa ia bisa dilakukan pada hari hari dimana semua keluarga bisa berkumpul dalam suasana rukun dan harmonis.
OM ano bhadrah krtavo yantu visvatah – Semoga pikiran baik datang dari segala arah. OM Shanti Shanti Shanti OM
Penulis : Wira Hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar